Srwijaya dan Harga Sumatra

25/06/2009 14:00
Srwijaya dan Harga Sumatra



Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan langsung dengan kesadaran politik, kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari berbagai keperluan dan kepentingan.


Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing, seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada, yang meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton. Itulah sebabnya mengapa Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas (Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam fihn Star Track di layar TV anda, akan tetapi merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera. Sebagaimana diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292, sudah berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan pedagang dari India, Cina Arab dan Eropa terus terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan secara profesional mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya:



I. KERAJAAN SRIWIJAYA


Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perdagangan hasil bumi Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada tahun 775, keraj aan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi”1). Wang Gungwu, “The Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea”, 1958, hlm 135.


Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina.” Demikian dituturkan oleh Chou Chù-Fei, malahan “Jambi dan Palembang sebagai pusat perdagangan yang

sangat maju” 2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, hhn 134-l 38.


Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chèn Tsàng-chi: “dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-Sumatera yang mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur barus yang dipandang sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan. Sebab pada kurun masa itu, kapur Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara selain Sriwijaya telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di Barat Laut India, , kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara melakukan perkara yang sama.” 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964, hlm 114.


Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus), hingga kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di bawah kerajaan Sriwijaya. “Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching”. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et testes Geographyques, hlm 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902.


Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: “Pada zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perdagangan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada sebelumnya dalam catatan yang telah kita selidiki.” 5) O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, hlm 312.


Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton”. 6) Prof. Wealtly, Golden Khersonese, hlm 58.


Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan dagang seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara Jambi-Palembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. “Ini harus dipandang sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu mengingatkan orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan sering mengirim utusan” 6). O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, h l m 323.


Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perdagangan, akan tetapi juga dalam bidang militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. “Sriwijaya di Sumatera Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting dalam perdagangan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka.” 7) Idem, hlm 1.


Seterusnya dikatakan: “raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militemya bergantung kepada kapal-kapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.” 8) Sung Shih, Suma Oriental, hlm. 235-236.


Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: “untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan” 9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, hlm 106.



Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan Arab merupakan mitra dagangnya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum menetapkan peraturan tertulis (perjanjian dagang) mengenai cukai dagang, perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan dagangnya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perdagangan telah dijadikan alasan yang sengaja dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post dagang Sriwijaya, mitra dagang yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi “selama dua abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri”. 10). O. W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, hhn 336.


Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi punca perang yang tidak dapat lagi dielakkan. Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting dalam sejarahnya, yaitu:

1.

Prasasti (batu bersurat) di Muara Takus;
2.

Prasasti (batu bersurat) di Telaga Batu, Palembang;
3.

Prasasti (batu bersurat) di Kota Kapur, Pulau Bangka.


Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah mempengaruhi mentalitas bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan melelahkan itu telah banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya sendiri.

—————

Back